Renungan Katolik “Bahasa Kasih”
Sabtu, 25 Agustus 2018
Yeh 43:1-7a
Mzm 85:9-14
Mat 23:1-12
Munafik-kah?
Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. – Mat 23:3
Munafik artinya berpura-pura percaya atau setia kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua.
Bukan hanya dalam dunia politik, tetapi dalam bidang kerohanianpun kita dapat menjumpai orang munafik. Dalam Injil, Yesus menyebut orang Farisi munafik karena menekankan ketaatan pada setiap peraturan Kitab Suci. Mereka setia membayar perpuluhan, tidak merampok, tidak berzinah, dan rajin berpuasa. Masalahnya, hal itu membuat orang Farisi merasa lebih suci dari orang lain. Mereka menjalankan segala ritual rohani bukan karena mengasihi Allah, melainkan untuk membenarkan diri dan mendapatkan pujian dari manusia.
Setelah ketua lingkungan mengetahui saya sedang belajar Kitab Suci, beliau mulai meminta saya membawakan renungan dalam acara lingkungan. Mulanya saya menolak karena saya takut dianggap munafik yang bisa mengajar tetapi tidak bisa melakukan. Saya merasa diri saya belum sempurna, takut dikatakan “jelek” oleh yang mendengar.
Saya mulai mengintrospeksi diri. Saya belajar Kitab Suci karena saya mau lebih dekat dengan Tuhan dan mau belajar untuk menjadi seorang Katolik yang lebih baik. Ketika saya diminta membawakan renungan, justru itulah saatnya saya berbagi atau melayani. Itu bukan munafik. Saat itu, saya dan umat sama-sama belajar. Hal yang terpenting adalah saat saya membawakan renungan, saya tidak mengejar pujian dari umat yang hadir. Munafik atau bukan, dapat dilihat dari buahnya. (Yo)
Apakah saya melakukan apa yang saya katakan?
No responses yet