Renungan Katolik “Bahasa Kasih”
Senin, 04 Desember 2017
Yer 2:1-5 atau Yes 4:2-6
Mzm 122:1-4a (4b-7),8-9
Mat 8:5-11
Iman
Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakanlah saja sepatah kata maka hambaku itu akan sembuh. – Mat 8:8
Kali ini saya ingin bercerita tentang anak kedua saya. Belakangan ini, ia sangat sibuk bermain game di handphone-nya. Cukup sering saya menegurnya karena bermain hingga larut malam atau saat handphone sedang di-charge. Sekarang, handphone-nya rusak, tetapi ia menghadapi situasi itu dengan sangat tenang. Mungkin ia berpikir kalau kami orang tuanya tidak akan membiarkan handphone-nya rusak. Diam-diam, saya kagum juga dengan keyakinannya bahwa kami akan mengurus hal tersebut.
Iman adalah bentuk respon manusia kepada Tuhan. Boleh dikatakan, iman adalah kepercayaan yang mutlak. Kita bisa melihat contoh Abraham (Kejadian 21 dan 22) dimana ia mempercayai Tuhan meski tidak ada dasar. Atau seperti Petrus berjalan di atas air (Matius 14:29). Iman seperti ini rasanya begitu sulit untuk kita ikuti. Terkadang, saya merasa diri saya termasuk orang yang tidak memiliki iman, khususnya ketika saya sangat berharap akan jawaban dari doa yang saya panjatkan.
Dalam iman Katolik, kita diajar untuk memiliki iman. Harapan akan menjadi sia-sia jikalau kita tidak memiliki iman, karena kita memiliki dasar untuk berharap. Dasar dari harapan kita adalah iman, yaitu kita percaya bahwa Tuhan mengasihi kita. Oleh karena itu, Yesus rela menjelma menjadi manusia, turut mengambil bagian dalam penderitaan manusia, disalibkan, dan bangkit untuk menyatakan bahwa dosa tidak berdaya atas diri-Nya dan manusia yang dikasihi-Nya.
Dalam Ekaristi, kita selalu mengulang pernyataan bahwa kita adalah manusia yang tidak layak, dan saya rasa, ini merupakan ajakan agar kita tetap beriman kepada Tuhan. (An)
Seberapa besar iman saya kepada Yesus?
No responses yet