Beberapa hari yang lalu disaat saya menghadiri misa harian, bacaan dari Lukas hari itu berbicara tentang pengampunan. Romo membahas mengenai sampai berapa kali kita harus mengampuni, tujuh puluh kali tujuh kali seperti di tulis dalam Matius 18: 21-22. Saat ayat dari Injil Matius tersebut diperdengarkan, saya jadi teringat akan hubungan saya dan ayah saya.
Hubungan saya dengan ayah tidak harmonis. Saya merasa kalau beliau selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk anak-anaknya. Hubungan tersebut semakin memburuk disaat orang tua saya memutuskan untuk bercerai. Saat itu tahun 1989, dan mulai sejak saat itu saya tinggal serumah dengan ayah. Saya tidak lagi ke gereja dan berhenti berdoa. Bahkan, menyebut nama “Tuhan” pun saya enggan. Kami berdua selalu bertengkar seperti anjing dan kucing. Saya merasa bahwa tidak ada satu hal pun yang saya lakukan yang bisa menyenangkan hatinya. Saya membenci dia dan berharap suatu hari saya bisa pergi ke tempat yang jauh dan tidak perlu bertemu dia lagi setiap hari.
Bulan Agustus tahun 2000, saya memutuskan untuk melanjutkan studi ke Perth. Pada waktu itu, ayah saya dan ibu tiri saya ikut mengantar saya ke kota ini. Saat itulah saya menemukan bahwa sepertinya Tuhan punya rencana yang indah buat saya.
5 hari setelah kami tiba, Tuhan mengirimkan saudara-saudara dari komunitas Heman Salvation Ministry (HSM) ke Perth untuk membentuk komunitas anak muda Katolik. Saya datang ke acara persekutuan doa mereka dan mengikuti pujian penyembahan dan firman.
Bukan suatu kebetulan bahwa ayat yang dibagikan saat itu dikutip dari Matius 18:21-22 – Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Malam itu, saya memutuskan untuk membuka hati saya kembali akan ajaran dan kehendak Tuhan, untuk mau memaafkan ayah saya dan memperbaiki hubungan kami.
Keesokan hari setelah persekutuan itu, saya berbicara dari hati ke hati dengan ayah saya. Saya berkata kepadanya bahwa saya mengampuni dia dan mencintai dia, setelah itu saya memeluk dia dan kita berduapun menangis. Hal yang tidak pernah terjadi selama hidup saya dengannya adalah melihat ayah saya menangis. Ayah saya bahkan tidak menangis disaat ibunya meninggal. Menyaksikan hal itu, saya percaya bahwa Tuhan telah memulihkan kami berdua, dan saya bersyukur kalau saya bisa belajar memaafkan seperti Tuhan Yesus yang terus memaafkan mereka yang telah menyakitiNya. Bahkan, kesalahan kitapun tidak pernah Ia ingat lagi. (A.N.T)
No responses yet