Bersyukur… Suatu kata yang tidak asing bagi kita semua. Hampir setiap hari kita mengucap syukur dalam doa kita atau mendengarkannya saat menghadiri misa. Ada banyak alasan untuk bersyukur. Kita bersyukur karena mendapat berkat, pekerjaan atau proyek baru, kesembuhan dari penyakit, promosi dalam pekerjaan, pasangan hidup, berulang tahun, kelahiran anak dalam keluarga dan masih banyak alasan lainnya untuk bersyukur. Umumnya kita mengucap syukur ketika kehidupan berjalan dengan baik atau ketika kita sedang bersukacita. Namun, yang menjadi tantangan apakah kita dapat tetap bersyukur di saat kenyataan hidup tidak seperti yang kita harapkan?
Mungkin kita bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, bagaimana aku dapat bersyukur ketika Engkau belum menjawab doa-doaku?” Ketika aku atau anggota keluargaku divonis sakit yang berat? Ketika aku di PHK dan pekerjaan yang baru tidak kunjung datang? Ketika masa depan dan pasangan hidupku belum jelas? Ketika anak-anakku rewel? Ketika suami atau istriku menyakitiku?” Secara kedagingan manusia, kita sulit untuk bersyukur di saat kita sedang galau atau mengalami beban hidup yang berat karena logika atau bisikan-bisikan lainnya lebih mendominasi pikiran dan hati kita.
Tetapi mari kita belajar dari Tuhan Yesus. Mujizat penggandaan lima roti dan dua ikan untuk memberi makan lima ribu orang terjadi saat Yesus mengucap syukur (Yoh 6: 11). Bahkan mujizat terbesar yang Yesus lakukan adalah membangkitkan Lazarus yang telah mati selama empat hari setelah Yesus mengucap syukur kepada Bapa (Yoh 11:41). Dalam kedua mujizat ini, ada satu persamaan bahwa situasi yang terjadi saat itu tidak nyaman. Dalam kisah penggandaan lima roti dan dua ikan, di Kitab Injil lainnya dilukiskan bahwa saat itu hari sudah mulai malam yang berarti waktu untuk makan malam dan mereka berada di tempat yang sunyi sehingga mungkin sulit untuk mendapatkan roti untuk makan malam. Sedangkan dalam kisah Lazarus, kematian membuat suasana menjadi sedih. Namun ada satu tindakan yang sama yaitu Yesus mengucap syukur sehingga mujizat terjadi.
Tahun lalu saya dididik untuk mengucap syukur ketika situasi yang saya hadapi sedang sangat tidak enak. Papa saya yang berada di Jakarta sakit demam berdarah. Saat itu papaku berusia delapan puluh satu tahun. Saat menerima berita ini, saya tidak panik karena saya pikir penyakit ini sudah biasa terjadi di Indonesia dan pasti papaku akan sembuh. Namun kenyataannya dampak dari sakit demam berdarah ini sangat buruk terhadap tubuh papaku. Secara klinis tim dokter mengatakan kondisi papaku kritis. Papa sempat masuk ICU dua kali. Suasana hati sungguh tidak menentu saat itu dan apa yang dapat saya lakukan hanya berserah dan berdoa untuk kesembuhan papaku.
Lazimnya seorang yang sedang menanti kesembuhan bagi anggota keluarga yang dikasihi, doa yang saya naikkan penuh dengan permohonan. Namun ujud doaku berubah ketika tim doa dari suatu komunitas mengunjungi papaku. Mereka mengucapkan doa yang berbeda yaitu doa yang bersyukur atas sakit dan kondisi papaku saat itu. Roh Kudus mencelikkan hati dan pikiran saya akan firman Tuhan yang berkata “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1 Tes 5:18). Sejak saat itu, saya pun mengubah ujud doa saya penuh dengan ucapan syukur atas kondisi papaku. Dan ketika saya bersama seluruh anggota keluarga mempersembahkan doa bersyukur maka sungguh mujizat pun terjadi.
Papaku sedang dalam proses pemulihan dan dokter mengizinkan untuk pulang ke rumah. Kurang lebih satu jam setelah tiba di rumah, papaku mendadak tidak dapat bernafas meski sudah memakai tabung oksigen. Memang saat itu kedua paru-parunya penuh dengan air dan dokter mengatakan agak riskan bila diambil tindakan mengingat banyak pembuluh darah yang pecah dalam tubuh papaku. Dokter mengatakan air dalam paru-paru dapat terserap secara alami. Saat kejadian, saya masih ingat air muka papaku menjadi pucat, ujung-ujung jari tangan dan kakinya sudah mulai memutih dan sekujur tubuhnya menggigil kedinginan. Tidak banyak yang dapat saya dan keluarga lakukan saat itu. Kami hanya berdoa, berserah dan bersyukur. Namun disaat itulah, Tuhan datang menolong. Dengan mata iman saya serta salah seorang adik melihat Tuhan menumpangkan tanganNya didada papaku. Disaat yang bersamaan papaku mengatakan “Tuhan Yesus datang….itu Tuhan Yesus datang” sembari telunjuknya menunjuk ke sudut kamar. Papaku melihat Tuhan Yesus datang dan memeluknya. Dalam hitungan detik, papaku menjadi tenang, badannya menjadi hangat dan ia dapat bernafas kembali.
Pengalaman tersebut membuat saya semakin tersungkur dihadapan Tuhan dan belajar bahwa berdoa dengan ucapan syukur memiliki kekuatan yang dahsyat yang tidak pernah terpikirkan oleh seorang manusia. Kuasa dan Mujizat Tuhan sungguh nyata atas ucapan SYUKUR. Oleh karena itu, jangan ragu untuk senantiasa bersyukur atas segala sesuatu dan dalam situasi apapun karena ketika kita menaikkan syukur, kemuliaan Tuhan dinyatakan.
“Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, Ia memuliakan Aku” (Mzm 50:23)
No responses yet